WELCOME! SELAMAT DATANG!

Di The Story from Ibit. Di sini, kalian bisa baca cerita-cerita ASLI buatanku. Silahkan menikmati..... Oleh-oleh komentarnya, di taruh di kotak "Koment" ya!

Senin, 21 Maret 2011

Musik Gina #2

Pertunjukan musik akan digelar seminggu lagi. Aku sebenarnya jadi tidak mau ikut dalam acara itu. Tapi, karena sudah kepalang basah mendaftar di sekolah, dengan permainan musik gitar sambil menyanyi, aku terus berlatih dan berusaha se-percaya diri mungkin. Sahabatku, Dee, tetap menyemangatiku. Dia akan bermain piano di pertunjukan nanti. Kuakui, permainan pianonya beneran, bagus.
"Kamu kok, kayak gugup gitu, sih?" tanya Dee. Kami berdua ada di depan mading sekarang. Sambil makan cimol dari kantin.
"Aku takut, rasanya, aku pingin mengundurkan diri dari pertunjukan musik. Habis, aku nggak yakin." jawabku jujur.
"Buat apa gugup? Lagipula, permainan gitarmu bagus, kok. Kan hasil ajaran kakakmu? Bukannya, kakakmu gitaris dari Summer Dream's Band?" hibur Dee.
"Iya...." aku mengangguk lesu.
Dee merangkulku, "Nanti sore, main kerumahku, ya. Siapa tahu, kita bisa duet. Boleh, kan?" ajaknya.
Aku mulai merasakan secercah cahaya. Aku segera mengangguk cepat. "Mau! Mau! Jam empat, ya? Kalau gitu, aku traktir kamu crepes, deh! Yuk!"

"Semuanya tentang kita.... Jangan khawatir... Hidup ini akan menjadi indah... Apabila kita, bersatu kembali.... Hooo.... huuu....." aku menyanyikan lagu buatanku di depan Kak Renda di kamar.
"Biasa aja," komentar Kak Renda.
"Apa maksudmu, 'biasa aja'?" tukasku.
"Ya, biasa. Lagu-lagumu itu, selalu tentang kesedihan di dalam ikatan persahabatan. Dan ini lagu yang bertema sama. Ini lagu ke-sepuluh yang bertema kesedihan dalam ikatan persahabatan. Bisakah kau buat tema yang lain? Misalnya, menggunakan puisi-puisimu?" balas Kak Renda pedas.
"Tapi, salah satu laguku digunakan dalam album band-mu yang baru. Dreams come true?" elakku.
"Memang, tapi nggak semuanya, juga, kan? Lagipula, produserku juga bakal nolak, kalau semua lagumu bertema itu. Bakal membikin bosan penggemar Summer Dream's Band!"
"Apa peduliku tentang band-mu?" aku mulai kesal.
"Memang kamu nggak ada sangkut paut-nya, kok! Udah sana, pergi! Kamu harus pergi ke rumahnya Dee! Lihat jamnya!" Kak Renda dengan sewot menyibak tirai dan menghempaskan dirinya ke kasur.
Aku tahu itu.

Kupakai jaket dan topi. Tak lupa kubawa gitar pemberian Kak Renda. Aku pergi ke rumah Dee, yang hanya lima menit jalan kaki dari rumah.
Di depan rumah Dee yang besar, megah, dan seperti istana kerajaan itu, aku menekan bel di depan gerbang rumah Dee yang super besar dan super berat kalau dibuka. Aku menekan bel lagi. Akhirnya, Dee datang sambil membawa segenggam kunci.
Dee bergegas membuka kelima gembok yang terkunci di gerbang itu. Dan akhirnya terbuka semua. Dee membukakan gerbang dengan susah payah. Gerbang ini sudah terbuka selebar 25 cm. "Udah, Dee. Cukup, badanku ini kecil, kok." aku menyetop Dee yang masih susah payah membuka gerbang. Wajahnya memerah dan berkeringat. Mungkin, ini salah satu olahraga alternatif.
"Bentar, kalau nutup, sih, gampang. Aku kunci dulu, ya?" Dee mengunci kelima gembok gerbang tadi dan mengantungi kunci.

"Masuk, yuk." ajak Dee padaku. "Eh.... Oke." balasku.
Dee mengajakku masuk ke dalam kamarnya. Dia menyuruhku berdiri di depan lemari bajunya yang besar. Dee menyuruh aku masuk ke dalam lemari, Dee pun juga. Dee meraba-raba dinding lemari bagian belakang.
"Apa yang kau cari?" tanyaku polos.
"Aku mencari gagang pintu!" jawabnya. "Nah, ketemu!" pekiknya senang. Aku menyibak baju-baju Dee yang bejibun, agar bisa kulihat, apa maksudnya dengan 'gagang pintu'?
KRIEEKKK.....
Dinding lemari itu bisa dibuka! "Ini adalah ruang pribadiku. Dimana semua hobiku kukerjakan disini." jelas Dee.
"Termasuk memancing?" tanyaku bingung. "Ada, kok." Dee membuka pintu bagian belakang. Tampaklah kolam besar dengan air bening, dan tersedia juga lima alat pancing.
"Jadi, memancing, menggambar komik, bermain piano, bermain komputer, bermain biola, mendesain baju, dan menjahit baju, kau kerjakan disini?!" pekikku tak percaya. Ia menjawabnya dengan anggukan. "KEREN!"

"Oke, kau sudah membawa gitarmu, aku sudah siap dengan pianoku. Kamu mau nyanyi lagu apa? Aku mau.... mmmm.... lagunya Mariah Carey yang.... Bye-bye." Dee memutuskan sambil duduk di kursi piano.
"Aku juga akan menyanyikan lagunya Mariah Carey, yang.... Hero. Siapa yang mau jadi juri?" balasku.
"Akan kupanggil seluruh pelayan di rumahku. Yang paling bagus, berarti, lagunyalah yang akan dinyanyikan, dan dia berhak menyanyikan suara satu. Deal?" Dee memutuskan sambil menjulurkan tangan.
"DEAL!" aku membalas uluran tangannya. Dee membuka kotak sepatu di sudut ruangan. Ia memencet ke-36 tombol berwarna merah yang ada disitu itu, yang jika dipencet, akan berubah menjadi warna biru.

Tak lama kemudian, seluruh pelayan yang ada di rumah Dee berdatangan ke ruangan ini. Sepertinya, pelayan di rumah Dee juga sudah mengetahui ruangan pribadi Dee ini.
"Kalian semua harus memilih salah satu dari aku, atau Gina. Tidak ada yang boleh memilih aku, karena aku majikan kalian. Aku akan tetap berlapang dada walaupun Gina yang menang. Aku tidak akan menangis guling-guling seperti bayi kecil karena kalah. TIDAK! Aku tidak akan sedih. Jadi, kalian semua harus jujur dalam memilih di antara aku dan Gina. Lagipula, kalau aku kalah, aku masih tetap ikut konser. Mengerti?" Dee menjelaskan peraturan kepada pelayan-pelayannya.
"Mengerti, Nona Dee....." kor para pelayan.
"Baik, Gina, siapa duluan yang main?" tanya Dee tegas. Matanya tajam menatapku. Brrr....
"Ka, ka.... kamu dulu aja."

Dee pun memainkan lagunya Mariah Carey yang Bye-bye dengan dadakan. Meski dadakan, lagu ini terdengar bagus. Tanpa ada salah. Walaupun satu-dua kali meleset. Tapi, itu seperti sama sekali nggak terdengar. Lagu Bye-bye diakhiri dengan suara falset-nya Dee yang merdu.
Hmmm.... Kalau Dee menggunakan suara falset, aku akan menggunakan suara teriak. Seperti Agnes Monica itu, lho.... Huehehehe.....
Aku mulai menyanyikan lagu itu. Awalnya pelan, mulai keras, keras, dan sangat keras di bagian teriak-teriaknya. Suara gitarku juga kuperkencang, agar musiknya tetap kelihatan. Di depan para juri (mmmm, pelayan, maksudku), aku melihat Dee melongo menatapku. Ah, masa bodo. Tapi, mungkin.... Dia belum pernah melihatku bernyanyi dengan berteriak seperti ini. Tapi, kalau aku sudah bertekad, dan kunyanyikan di depan umum, sepertinya, hasilnya juga memuaskan.
Aku mengakhiri lagu ini dengan teriak yang menipis mejadi falset besar, falset kecil, dan hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar